Langitnya sungguh cerah. Gerakan angin di luar pun sangat lembut. Sinar matahari yang menerobos kaca jendela cafe tempatku bekerja ini, sungguh ramah. Namun, hatiku masih takut, hanya berkurang sedikit setelah mengetahui lelaki yang menungguku di seberang sungguh ingin membahagiakanku.
"Lelaki itu telah lama menunggumu, tidakkah ada keinginan darimu tuk bersuara di depannya?"
"Haruskah?"
Temanku hanya menggelengkan kepala dan berlalu. Nampak raut bosan yang muncul dengan menebak balasanku.
Apakah ini saatnya? Bolehkan kini kumulai?
Aku beranjak dari kursi kayu yang membosankan ini dan berjalan mendekati lelaki itu. Seseorang yang amat lama berdiri di tempat yang sama, mendapatkan jawaban yang sama, dan perlakuan yang sama. Dariku.
Seseorang yang sudah sangat paham apa yang kutakutkan, namun masih saja mencoba membantu.
"Apakah kau sudah lelah menungguku?" tanyaku, "ah, iya, aku tahu, kau sudah sangat lelah."
"Hai, akhirnya kau menghampiriku juga." jawabnya singkat.
"Ah ya, sebelumnya..."
"Sebentar..."
"Ya?" tanyaku heran.
"Aku disini hanya ingin memberitahumu, bahwa ini akan menjadi yang terakhir.
Aku tidak akan rela menunggu di sini lagi untuk mendapatkan jawaban yang sama, jadi untuk waktu yang akan datang, teruslah tersenyum dan jangan hindari orang lain. Kau sungguh seseorang yang tidak pandai membaca niat baik yang lain. "
"Kenapa kau menjelaskan hal seperti itu? Bukankah kau mau mengajakku keliling?"
Dia menggeleng. Tanpa senyuman. Tanpa sorotan mata yang biasa penuh harap.
"Seperti yang kubilang. ini terakhir. sungguh terakhir. Andai kau datang lebih awal."
Aku terus memerhatikan raut wajahnya. Terkadang seperti ingin menangis, namun lebih menunjukkan sikap membenciku. Benci yang sudah menumpuk.
"Jadi?"
"Jadi, kesimpulannya. Kau, tidak akan lagi melihatku dan berlari menjauh. Kini, berjalanlah dengan santai tanpa takut aku terus mengikutimu.
Pahami semampumu. Yakini semaumu, aku hanya ingin berhenti."
"B... ba.. baiklah..." jawabku bimbang.
bersambung,
-1715
"Lelaki itu telah lama menunggumu, tidakkah ada keinginan darimu tuk bersuara di depannya?"
"Haruskah?"
Temanku hanya menggelengkan kepala dan berlalu. Nampak raut bosan yang muncul dengan menebak balasanku.
Apakah ini saatnya? Bolehkan kini kumulai?
Aku beranjak dari kursi kayu yang membosankan ini dan berjalan mendekati lelaki itu. Seseorang yang amat lama berdiri di tempat yang sama, mendapatkan jawaban yang sama, dan perlakuan yang sama. Dariku.
Seseorang yang sudah sangat paham apa yang kutakutkan, namun masih saja mencoba membantu.
"Apakah kau sudah lelah menungguku?" tanyaku, "ah, iya, aku tahu, kau sudah sangat lelah."
"Hai, akhirnya kau menghampiriku juga." jawabnya singkat.
"Ah ya, sebelumnya..."
"Sebentar..."
"Ya?" tanyaku heran.
"Aku disini hanya ingin memberitahumu, bahwa ini akan menjadi yang terakhir.
Aku tidak akan rela menunggu di sini lagi untuk mendapatkan jawaban yang sama, jadi untuk waktu yang akan datang, teruslah tersenyum dan jangan hindari orang lain. Kau sungguh seseorang yang tidak pandai membaca niat baik yang lain. "
"Kenapa kau menjelaskan hal seperti itu? Bukankah kau mau mengajakku keliling?"
Dia menggeleng. Tanpa senyuman. Tanpa sorotan mata yang biasa penuh harap.
"Seperti yang kubilang. ini terakhir. sungguh terakhir. Andai kau datang lebih awal."
Aku terus memerhatikan raut wajahnya. Terkadang seperti ingin menangis, namun lebih menunjukkan sikap membenciku. Benci yang sudah menumpuk.
"Jadi?"
"Jadi, kesimpulannya. Kau, tidak akan lagi melihatku dan berlari menjauh. Kini, berjalanlah dengan santai tanpa takut aku terus mengikutimu.
Pahami semampumu. Yakini semaumu, aku hanya ingin berhenti."
"B... ba.. baiklah..." jawabku bimbang.
bersambung,
-1715
Komentar